Kamis, 15 Mei 2014

Mas Kawin

Mahar atau Mas kawin adalah harta yang diberikan oleh pihak mempelai laki-laki (atau keluarganya) kepada mempelai perempuan (atau keluarga dari mempelai perempuan) pada saat pernikahan. Istilah yang sama pula digunakan sebaliknya bila pemberi mahar adalah pihak keluarga atau mempelai perempuan. Secara antropologi, mahar seringkali dijelaskan sebagai bentuk lain dari transaksi jual beli sebagai kompensasi atas kerugian yang diderita pihak keluarga perempuan karena kehilangan beberapa faktor pendukung dalam keluarga seperti kehilangan tenaga kerja, dan berkurangnya tingkat fertilitas dalam kelompok.
Di indonesia, istilah mahar tidak hanya digunakan secara terbatas pada pernikahan. Penganut paham mistisisme kadang-kadang menggunakan istilah yang sama dalam proses pemindahan hak kepemilikan atas benda-benda yang dipercaya memiliki kekuatan tertentu seperti keris, akik, dan benda-benda lainnya. Mahar juga kadang-kadang diartikan sebagai pengganti kata biaya atas kompensasi terhadap proses pengajaran ilmu ataupun kesaktian dari seorang guru kepada orang lain.
Sejarah
Meskipun tidak ada sumber resmi yang menyebutkan secara jelas, budaya mahar dipercaya sudah ada sejak zaman purbakala seiring dengan berkembangnya peradaban manusia. Penemuan tertua yang mengatur tentang tata cara pemberian mahar tercatat pada piagam Hammurabi yang menyebutkan:
Seorang laki-laki yang telah memberikan mahar kepada seorang mempelai wanita namun kemudian mempersunting wanita lain tidak berhak mendapat pengembalian atas mahar yang telah diberikannya, namun apabila ayah dari mempelai wanita menolak menikahkan maka laki-laki tersebut berhak atas pengembalian mahar yang telah diberikannya.
Jika seorang istri meninggal tanpa sempat melahirkan seorang anak laki-laki, ayah dari istri tersebut harus memberikan mahar sebagai gantirugi kepada pihak laki-laki, setelah dikurangi nilai dari mahar yang diberikan pihak laki-laki.
Mahar dalam ajaran agama
Pemberian mahar dalam pernikahan tidak hanya sebatas budaya yang berlaku dalam peradaban manusia, tata cara dan pemberian mahar bahkan diatur dalam kitab suci beberapa agama:

1. Islam
Mahar dalam agama islam dinilai dengan menggunakan nilai uang sebagai acuan, hal ini disebabkan karena mahar merupakan harta dan bukan semata-mata sebagai sebuah simbol. Wanita dapat meminta mahar dalam bentuk harta dengan nilai nominal tertentu seperti uang tunai, emas, tanah, rumah, kendaraan, atau benda berharga lainnya. Mahar juga dapat berupa mushaf Al-Qur’an serta seperangkat alat salat. Agama islam mengizinkan mahar diberikan oleh pihak laki-laki dalam bentuk apapun (cincin dari besi, sebutir kurma, ataupun jasa), namun demikian mempelai wanita sebagai pihak penerima memiliki hak penuh untuk menerima ataupun menolak mahar tersebut.
Adapun mengenai cincin pernikahan yang sudah menjadi kebiasaan bahkan cenderung dianggap sebagai hal yang mendasar didalam suatu acara tunangan atau pernikahan maka sesungguhnya bukanlah berasal dari islam.
Penggunaan cincin didalam acara perkawainan ini sudah berlangsung sejak berabad-abad lalu yang merupakan tradisi didalam agama Yunani dan Romawi kuno yang dianggap sebagai simbol cinta kasih antara laki-laki dan perempuan. Cincin ini kemudian diadopsi dan dikembangkan di eropa (barat) dari mulai model hingga bahan pembuatannya.
Oleh orang-orang Eropa cincin ini pernah dimodifikasi menjadi bentuk-bentuk lainnya seperti kunci dan piramida. Adapun bahan pembuatannya juga mengalami perkembangan dari sekedar lempeng besi menjadi kuningan dan perunggu. Sedangkan para bangsawan dan raja-raja di Eropa menggunakan berlian sebagai bahan pembuatan cincin. Dan akhirnya yang berkembang dan menyebar di masyarakat dunia pada umumnya adalah cincin yang terbuat dari emas atau platinum.
Ada yang mengatakan bahwa pengenaan cincin perkawinan di jari manis adalah kebiasaan orang-orang Cina dengan keyakinan bahwa ibu jari adalah sebagai simbol orang tua, telunjuk adalah simbol kakak dan adik, kelingking adalah simbol anak-anak sedang jari manis adalah simbol suami istri yang akan selalu bersatu selama hidup.
Kesimpulan ini mereka ambil dengan cara yang sangat sederhana yaitu, apabila kedua telapak tangan seseorang dibuka dan jari-jemari yang ada ditangan kanan disentuhkan dengan jari-jemari yang ada di tangan kiri (ibu jari bertemu dengan ibu jari, telunjuk bertemu dengan telunjuk begitu seterusnya kecuali kedua jari tengah yang dilipat bersentuhan) dan jika jari-jemari itu satu-persatu diangkat dan ditutup kembali maka semua jari bisa melakukannya kecuali jari manis.
Nah.. semua jari yang bisa diangkat dan ditutup kembali itu diartikan sebagai simbol untuk orang-orang sekelilingnya yang akan pergi sedangkan jari yang tidak bisa diangkat (jari manis) adalah simbol untuk suami istri yang akan langgeng selamanya.
Jadi penggunaan cincin didalam suatu acara perkawinan bukanlah berasal dari islam. Dan Rasulullah saw bersabda:  ”Siapa yang meniru-niru suatu kaum maka ia termasuk golongan kaum itu.” (HR. Ahmad dan Abu Daud).
Islam memiliki ciri dan karakteristik tersendiri yang berbeda dengan agama dan budaya selainnya. Karakteristik dan ciri islam adalah karakteristik ilahiyah yang senantiasa mengingatkannya akan kemuliaan Sang Penciptanya. Karakteristik yang tidak membuatnya lalai dari mengingat Allah swt sehingga ia dinilai sebagai suatu ibadah dan mendapatkan pahala dari Allah swt.
Kalau seandainya mereka yang mengatakan bahwa penggunaan cincin dalam perkawinan juga berasal dari islam berdasarkan hadits Rasulullah saw kepada salah seorang sahabatnya:    ”Berikanlah mahar, meskipun hanya sebuah cincin besi.” (HR. Bukhori)
maka tidaklah tepat karena hadits ini berkaitan dengan mahar seorang yang ingin menikah.
Imam Bukhori memasukan hadits ini kedalam Bab Mahar dengan Barang dan Cincin Besi. Artinya bahwa seseorang yang ingin menikah sedang ia tidak memiliki kemampuan dalam menyediakan maharnya maka ia diperbolehkan memberikan mahar walaupun hanya berupa cincin besi atau sesuatu yang tidak seberapa harganya.
Wassalammu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
[Sumber: eramuslim.com]

2. Kristen
Praktek pemberian mahar dalam agama kristen ditemukan dalam alkitab, pada perjanjian lama, Exodus 22:16-17 yang menyebutkan:
Jika seorang laki-laki mengambil mahkota (keperawanan) seorang wanita yang tidak dijanjikan untuk dinikahinya, kemudian tidur bersamanya. Maka ia harus membayar sejumlah mahar, dan wanita tersebut harus menjadi istrinya. Jika ayah dari perempuan menolak untuk menikahkan keduanya, maka laki-laki tersebut tetap harus membayarkan sejumlah mahar tersebut atas keperawanan yang telah ia ambil.

Sumber: wikipedia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar