Latar Belakang Sejarah
Abad ke-1 hingga Abad ke-9
Pemberian cincin semula berasal dari
upacara pertunangan Romawi sejak abad pertama Masehi. Upacara
pertunangan tersebut berisi pernyataan tentang janji untuk menikah pada
masa depan. Pada masa itu, keterlibatan tradisi setempat masih kuat di
dalam kekristenan yang tengah berkembang sehingga banyak unsur-unsur
tradisi setempat yang masuk ke dalam ritus pernikahan Kristen. Salah
satu unsur tradisi Romawi yang masuk ke dalam ritus pernikahan Kristen
adalah prosesi pertukaran cincin pernikahan.
Di dalam suatu garis besar tata pernikahan yang dibuat gereja pada abad
ke-9, prosesi pemasangan cincin dalam pernikahan telah tercantum di
dalamnya.
Abad ke-10 hingga Abad ke-11
Di dalam abad ke-10 dan ke-11 terdapat
penambahan di dalam prosesi pemasangan cincin, yaitu pemasangan cincin
disertai dengan pemberian berkat pada cincin. Mempelai pria memasangkan
cincin kepada mempelai wanita seraya berkata,”Dia (menyebutkan nama
mempelai perempuan) yang mengenakan cincin ini boleh berada di dalam
damai, kehidupan, bertumbuh di dalam kasih, dan dikaruniakan umur
panjang”. Dengan demikian seolah-olah cincin memiliki makna dalam
pernikahan sebagaimana konsekrasi roti dan anggur dalam Ekaristi.
Gereja-gereja Ortodoks Timur
mempertahankan prosesi pertukaran cincin, seperti pertukaran janji dan
cincin di ruang depan. Dengan demikian, jikalau pada abad ke-10 dan
ke-11 cincin menjadi simbol berkat, maka pada gereja-gereja Ortodoks
Timur, cincin menjadi simbol ikatan kedua mempelai melalui janji pernikahan.
Abad ke-16 hingga Kini
Pada masa Reformasi Gereja, muncul
rumusan lain yang berasal dari Martin Luther, yaitu “Apa yang telah
dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia”. Ibadah
pernikahan di gereja-gereja Protestan Indonesia hingga kini sebagian
besar memakai rumusan ini atau yang serupa dengan ini.
Walaupun cincin banyak digunakan dalam
liturgi pernikahan, namun bukan berarti semua gereja menyetujui
penggunaan cincin dalam liturgi pernikahan. Kaum Puritan pada abad ke-17
menolak penggunaan cincin pernikahan. Mereka keberatan terhadap prosesi
pertukaran cincin, dan juga unsur-unsur lain di dalam ibadah, sehingga
menghilangkan prosesi tersebut dari ibadah pernikahan. Akan tetapi,
sebagian besar unsur-unsur tersebut dipulihkan kembali pada tahun-tahun
berikutnya. Keberatan tersebut wajar mengingat tujuan mereka adalah
“memurnikan” Gereja Inggris pada saat itu dengan cara menyingkirkan
segala hal yang berbau Romawi. Pada abad ke-18, John Wesley juga
menghapus ritus penyerahan mempelai dan pemberian cincin. Akan tetapi,
para penerus John Wesley memulihkan kedua ritus tersebut.
Fungsi Simbolik Cincin Pernikahan
sepasang cincin.
Simbol berfungsi menghadirkan masa lalu
pada masa kini. Dengan demikian, melalui cincin pernikahan pasangan
suami-istri dapat mengingat cinta yang terjalin dan makna pernikahan
yang telah mereka jalani. Cincin pernikahan tidak menjamin cinta dan
kesetiaan suami-istri, namun cincin pernikahan menjadi simbol yang
senantiasa mengingatkan dan membahasakan kerinduan mereka untuk selalu
memperdalam cinta kepada pasangannya. Secara populer ada makna-makna
lain yang diberikan kepada cincin pernikahan, misalnya sebagai penanda
akan status pemakainya selaku suami-istri, atau perlambang ikatan
pernikahan yang tiada akhirnya seperti bentuk cincin yang bulat dan tak berujung.
Sumber: wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar